SUKU AMBON
A)
IDENTIFIKASI
BUDAYA AMBON
Ambon adalah
sebuah suku yang mendiami daerah kepulauan yang sekarang terletak di Provinsi
Maluku. Nama Maluku sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Arab, yakni
al-muluk. Penamaan tersebut dikarenakan yang membuat peta daerah Maluku adalah
para sarjana geografi Arab. Tetapi setelah Belanda masuk, kata tersebut dirubah
menjadi Maluku.
Maluku
didominasi oleh ras suku bangsa Melania Pasifik, yang masih berkerabat dengan
Fiji, Tonga, dan beberapa bangsa kepulauan yang tersebar di kepulauan Samudera
Pasifik. Sementara itu suku pendatang kebanyakan berasal dari daerah Buton,
Makassar, Bugis, Cina dan Arab. Maluku juga memiliki ikatan tradisi dengan
bangsa-angsa kepulauan pasifik seperti bahasa, lagu daerah, makanan, perangkat
peralatan rumah tangga dan alat musik.
Orang-orang
suku Ambon umumnya memiliki kulit gelap, rambut ikal, kerangka tulang besar dan
kuat. Profil tubuh mereka lebih atletis dibandingkan dengan suku lain di
Indonesia dikarenakan aktifitas utama mereka merupakan aktifitas laut seperti
berlayar dan bernenang.
Pendukung
kebudayaan di Maluku terdriri dari ratusan sub suku, yang dapat diindikasikan
dari pengguna bahasa lokal yang diketahui masih aktif dipergunakan sebanyak 117
dari jumlah bahasa lokal yang pernah ada. Meskipun masyarakat di daerah ini
mencerminkan karakteristik yang multikultur, tetapi pada dasarnya mempunyai
kesamaan nilai budaya sebagai representasi kolektif. Salah satunya adalah
filosofi Siwalima yang selama ini telah melembaga sebagai cara pandang
masyarakat tentang kehidupan bersama dalam kepelbagaian. Di dalam filosofi ini,
terkandung berbagai pranata yang memiliki nlai umum dan dapat ditemukan di
seluruh wilayah Maluku.
Pulau Ambon
merupakan pulau yang terletak di Kepulauan Maluku, di selatan Pulau Seram. Saat
ini merupakan letak kota Ambon ibukota dari provinsi Maluku.
Setiap pulau
dengan pulau yang lain memiliki perbedaan kebudayaan atau adat istiadat, hal
ini disebabkan oleh gejala “isolasi”. Misalnya orang Tobaru dan Sou saling
tidak mengetahui bahasa satu sama lainnya, maka oleh sebab itu mereka terpaksa
memakai bahasa pengantar Ternate. Setiap pulau yang ada di pulau maluku telah
mengembangkan kebudayaannya sendiri. Meskipun kebudayaan mereka berbeda-beda
tapi ada beberapa unsurnya yang sama.
B)
KEHIDUPAN
SOSIAL KEMASYARAKATAN
Desa adat
suku Ambon dibangun sepanjang jalan utama antara satu desa dengan desa yang
lain saling berdekatan, atau bisa juga dalam bentuk kelompok yang terdiri dari
rumah-rumah yang dipisahkan oleh tanah pertanian. Bentuk kelompok kecil rumah-rumah
itu disebut ”Soa”. Rumah asli Ambon, sama seperti di Nias, Mentawai, Bugis
Toraja, dan suku lainnya di Indonesia, dibangun dengan tiang kayu yang tinggi.
Beberapa “Soa” yang letaknya berdekatan satu dengan yang lain dalam sebuah
kampung yang disebut dengan ”Aman”. Kumpulan dari beberapa ”Aman” disebut
dengan ”Desa” yang juga disebut dengan ”Negari” dan dipimpin oleh seorang
”Raja” yang diangkat dari klen-klen tertentu yang memerintah secara
turun-temurun, dan kekuasaan di dalam negari dibagi-bagi untuk seluruh klen
dalam komunitas negeri. Pusat dari sebuah Negari dapat dilihat dengan adanya
balai pertemuan, rumah raja, gereja, masjid, rumah alim ulama, toko, dan
kandang berbagai hewan peliharaan.
Dalam proses
sosio-historis, ”negari-negari” ini mengelompok dalam komunitas agama tertentu,
sehingga timbul dua kelompok masyarakat yang berbasis agama, yang kemudian
dikenal dengan sebutan Ambon Sarani dan Ambon Salam. Pembentukan negeri seperti
ini memperlihatkan adanya suatu totalitas kosmos yang mengentalkan solidaritas
kelompok, namun pada dasarnya rentan terhadap kemungkinan konflik. Oleh sebab
itu, dikembangkanlah suatu pola manajemen konflik tradisional sebagai
pencerminan kearifan pengetahuan lokal guna mengatasi kerentanan konflik
seperti Pela, Gandong; yang diyakini mempunyai kekuatan supranatural yang
sangat mempengaruhi perilaku sosial kedua kelompok masyarakat ini; dan hubungan
kekerabatan lainnya.
C)
SISTEM
KEMASYARAKATAN
Dalam
kehidupan masyarakat Maluku pada umumnya dan Ambon pada khususnya, hubungan
persaudaraan atau kekeluargaan terjalin atau terbina sangat akrab dan kuat
antara satu desa atau kampung dengan desa atau kampung yang lain. Hubungan
kekeluargaan atau persaudaraan yang terbentuk secara adat dan merupakan budaya
orang Maluku atau Ambon yang sangat dikenal oleh orang luar itu dinamakan
dengan istilah “PELA”.
Hubungan
pela ini dibentuk oleh para datuk atau para leluhur dalam ikatan yang begitu
kuat. Ikatan pela ini hanya terjadi antara desa kristen dengan desa kristen dan
juga desa kristen dengan desa islam. Sedangkan antara desa Islam dengan desa
Islam tidak terlihat (Frank L. Cooley, Mimbar dan Takhta, Jakarta: PSH, 1987,
hlm 183). Dengan demikian, walaupun ada dua agama besar di Maluku (Ambon), akan
tetapi hubungan mereka memperlihatkan hubungan persaudaraan ataupun
kekeluargaan yang begitu kuat. Namun seperti ungkapan memakan si buah malakama
atau seperti tertimpa durian runtuh, hubungan kekeluargaan atau persaudaraan
yang begitu kuatpun mendapat cobaan yang sangat besar, sehingga tidak dapat
disangkali bahwa hubungan yang begitu kuat dan erat, ternyata pada akhirnya
bisa diruntuhkan oleh kekuatan politik yang menjadikan agama sebagai alat
pemicu kerusuhan yang sementara bergejolak di Maluku (Ambon), yang sampai
sekarang sulit untuk dicari jalan keluarnya.
Hubungan
persaudaraan dan kekeluargaan yang begitu kuat dipatahkan dengan kekuatan agama
yang dilegitimasi oleh kekuatan politik hanya karena kepentingan-kepentingan
big bos atau orang-orang tertentu. Apakah budaya “Pela (Gandong)” bisa menjadi
jembatan lagi untuk mewujudkan rekonsiliasi di Maluku (Ambon)? Inilah yang
masih merupakan pergumulan.
Seperti
telah dijelaskan sebelumnya bahwa setiap ”Soa” dipimpin oleh seorang kepala
”Soa”, yang bertugas mengerjakan urusan administrasi harian, baik itu urusan
tradisional, maupun untuk urusan pemerintahan Indonesia. Sedangkan beberapa
kesatuan ”Soa” yang disebut dengan ”Negari”, dipimpin oleh seorang ”raja” yang
diangkat berdasarkan keturunan. Tetapi walaupun ”raja” diangkat berdasarkan
keturunan, aturan adat suku Ambon dalam memilih suatu pemimpin, pada umumnya
dilakukan dengan cara pemilihan dengan cara pemungutan suara. Berikut adalah
beberapa ”Sanitri” atau pejabat tradisional dalam kehidupan sosial masyarakat Suku
Ambon :
Tuan tanah
Seseorang
yang ahli dalam bidang pertanahan dan kependudukan
Kapitan
Seseorang
yang ahli dalam peperangan
Kewang
Seseorang
yang bertugas untuk menjaga hutan
Marinyo
Seseorang
yang bertugas memberikan berita dan pengumuman. Dalam kemasyarakatan Suku
Ambon, banyak dijumpai Organisasiorganisasi kemasyarakatan yang memiliki
berbagi macam visi dan misi. Berikut beberapa contoh organisasi kemasyarakatan
Suku Ambon :
Patalima
Lima bagian,
merupakan orang-orang yang tinggal di sebelah timur. Namun dilihat dari sejarah
di mana Suku Ambon pernah dikuasai oleh Ternate dan Tidore, organisasi ini
nampaknya dibentuk untuk menunjukkan pengaruh kerajaan Ternate dan Tidore, dan
juga untuk membantu pertahanan dari serangan musuh.
Jajaro
Organisasi kewanitaan
Suku Ambon
Ngungare
Organisasi
kepemudaan
Pela Keras
Organisasi
antar Soa yang fokus pada kegiatan kerjasama suatu proyek antar Soa,
peperangan, dan lain-lain.
Pela Minum
Darah
Hampir sama
dengan Pela Keras. Organisasi ini mengikat persatuan mereka dengan cara
meminum, darah mereka masing-masing yang dicampur menjadi satu.
Pela Makan
Sirih
Organisasi
antar Soa yang fokus pada bidang pembangunan masjid, gereja, dan sekolah
Muhabet
Organisasi
yang mengurus semua kegiatan upacara kematian
Patasiwa
sembilan
bagian, merupakan kelompok orang-orang Alifuru yang bertempa tinggal di sebelah
baratsungai mala sampai ke Teluk upa putih di sebelah selatan. Patasiwa dibagi
menjadi dua kelompok yaitu patasiwa hitam dan patasiwa putih. Patasiwa hitam
wargawarganya di tato, sedangkan patasiwa putih tidak.
Pengertian
Pela
Pela berasal
dari kata “Pila” yang berarti “buatlah sesuatu untuk bersama”. Sedangkan jika
ditambah dengan akhiran -tu, menjadi “pilatu”, artinya adalah menguatkan, usaha
agar tidak mudah rusuh atau pecah. Tetapi juga ada yang menghubungkan kata pela
ini dengan pela-pela yang berarti saling membantu atau menolong. Dengan
beberapa pengertian ini, maka dapat dikatakana bahwa PELA adalaah suatu ikatan
persaudaraan atau kekeluargaan antara dua desa atau lebih dengan tujuan saling
membantu atau menolong satu dengan yang lain dan saling merasakan senasib
penderitaan. Dalam arti bahwa senang dirasakan bersama begitupun susah
dirasakan bersama (Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Maluku, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1977/1978, hlm 27). Ikatan pela ini diikat dengan
suatu sumpah dan dilakukan dengan cara minumdarah yang diambil dari jari-jari
tangan yang dicampur dengan minuman keras lokal maupun dengan cara memakan
sirih pinang. Hubungan pela ini biasanya terjadi karena ada peristiwa yang
melibatkan kedua kepala kampung atau desa, dalam rangka saling membantu dan
menolong satu sama lain. Dalam ikatan pela ini memiliki serangkaian nilai dan
aturan yang mengikat masingmasing pribadi yang tergabung dalam persekutuan
persaudaraan atau kekeluargaan itu. Aturan itu antara lain adalah: tidak boleh
menikah sesama pela atau saudara sekandung dalam pela. Jika hal ini dilakukan
maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau terjadi hukuman bagi yang
melanggaranya (op.cit., Cooley, hlm 184).
Jenis-Jenis
Pela
a) Pela Keras Atau Pela Minum Darah
Dikatakan
demikian oleh karena pela ini ditetapkan melalui sumpah para pemimpin leluhur
kedua belah pihak dengan cara meminum darah yang diambil dari jari-jari mereka
yang dicampur dengan minuman keras lokal dari satu gelas. Hal ini memateraikan
sumpah persaudaraan untuk selama-lamanya. Pela ini biasanya atau umumnya adalah
hasil dari keadaan perang. Artinya bahwa setelah kedua kapitan dari dua desa
tersebut saling bertarung dan pada akhirnya tidak ada yang bisa saling
mengalahkan, maka diangkat sumpah untuk mengakhiri permusuhan itu. Sumpah itu
dimaksudkan untuk mengikat “persaudaraan darah” untuk selamanya. Sehingga dalam
perkembangannya jika yang satu mereka susah atau memerlukan bantuan, maka yang
lain harus membantu. Inilah komitmen yang sudah merupakan kewajiban ataupun
keharusan. Semua warga dari desa-desa yang angka pela ini tidak terlepas dari
tuntutan-tuntutan, antara lain:
– tidak
boleh menikah
– saling membantu
dan memikul beban.
Pela keras
ini biasa disebut juga dengan pela tuni ataupun pela batukarang.
b) Pela Lunak Atau Pela Tampa Sirih
Jenis pela
ini tidak diikat dengan sumpah yang memakai darah, tetapi hanya dengan memakan
sirih pinang. Ikatan pela ini terjadi karena bertemu dalam situasi yang
mengundang untuk saling membantu, misalnya pada saat terjadi angin ribut ada
yang menolongnya. Ataupun juga pela jenis ini terbentuk melalui kegiatan masohi
atau bantuan tenaga dari satu desa pada desa lain. Pela ini tidaklah keras,
karena tidak dilarang untuk menikah sesama pela.
c) Pela Ade Kaka
Pela jenis
ini pada umumnya merupakan hasil pertemuan kembali antara adik-kakak yang
bersaudara dimana tadinya berpencar dan telah membentuk kampung sendiri.
Umumnya pela saudara ini berlangsung antara kampung-kampung yang beragama
kristen dan Islam. Pela ini biasanya dikenal dengan nama Pela Gandong. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa walaupun ada berbagai jenis pela akan tetapi
semuanya mempunyai hakekat yang satu, yaitu ikatan persaudaraan atau
kekeluargaan yang berlangsung untuk selamanya karena diikat dengan sumpah
darah.
d) Panas Pela
Panas Pela
adalah suatu kegiatan yang dilakukan setiap tahun antara desa yang telah
sama-sama mengankat sumpah dalam ikatan pela untuk mengenangkan kembali
peristiwa angka pela yang terjadi pada awalnya. Selain itu juga kegiatan panas
pela ini juga pada intinya adalah untuk lebih menguatkan, mengukuhkan hubungan
persaudaraan dan kekeluargaan.
Hubungan
Budaya Pela Dengan Rekonsiliasi
Pada
hakikatnya pela telah mengandung unsur rekonsiliasi. Oleh karena dalam budaya
pela itu sendiri dinyatakan bagaimana ikatan yang kuat dalam menjalin kedamaian
ata kehidupan yang saling merasakan susah dan senang secara bersama. Akan tetapi
dengan melihat situasi yang terjadi akhir-akhir ini yang menumbangkan ikatan
pela oleh karena ikatan agama yang begitu kuat karena permainan politik yang
menggunakan agama sebagai kendaraan, maka tidak dapat disangkal, pasti semua
orang akan bertanya mengapa ikatan persaudaraan yang begitu kuat mengikat
hubungan antara desa yang satu dengan yang lain, apalagi ikatan agama dapat
runtuh. Inilah suatu pergumulan.
D)
SISTEM
KEKERABATAN
Sistem
kekerabatan orang Ambon berdasarkan hubungan patrilineal atau hubungan
kekerabatan melalui garis keturunan pihak ayah yang diiringi pola menetap
patrilokal. Kesatuan kekerabatan amat penting yang lebih besar dari keluarga
batih adalah mata rumah atau fam yaitu suatu kelompok kekerabatan yang bersifat
patrilinal.
Mata rumah
penting dalam hal mengatur perkawinan warganya secara exogami dan dalam hal
mengatur penggunaan tanah-tanah deti yaitu tanah milik kerabat patrilineal.
Disamping kesatuan kekerabatan yang bersifat unilateral itu ada juga kesatuan
lain yang lebih besar dan bersifat bilateral yaitu famili atau kindred. Famili
merupakan kesatuan kekerabatan di sekeliling individu yang terdiri dari
warga-warga yang masih hidup dari mata rumah asli yaitu semua keturunan keempat
nenek moyang.
E)
MATA
PENCAHARIAN
Mata
pencaharian orang Ambon pada umumnya adalah pertanian di ladang. Dalam hal ini
orang membuka sebidang tanah di hutan dengan menebang pohon-pohon dan membakar
batang-batang serta dahan-dahan yang telah kering. Ladang-ladang yang telah
dibuka dengan cara demikian hanya diolah sedikit dengan tongkat kemudian
ditanami tanpa irigasi. Umumnya tanaman yang mereka tanam adalah kentang, kopi,
tembakau, cengkih, dan buah-buahan. Selain itu, orang Ambon juga sudah menanam
padi dengan teknik persawahan Jawa.
Sagu adalah
makanan pokok orang Ambon pada umumnya, walaupun sekarang beras sudah biasa
mereka makan. Akan tetapi belum menggantikan sagu seluruhnya. Tepung sagu
dicetak menjadi blok-blok empat persegi dengan daun sagu dan dinamakan tuman.
Cara orang Ambon makan sagu dengan membakar tuman atau dengan memasaknya
menjadi bubur kental (pepedu).
Disamping
pertanian, orang Ambon kadang-kadang juga memburu babi hutan, rusa dan burung
kasuari. Mereka menggunakan jerat dan lembing yang dilontarkan dengan jebakan.
Hampir semua penduduk pantai menangkap ikan. Orang menangkap ikan dengan
berbagai cara, yaitu dengan kail, kait, harpun dan juga jaring. Perahu-perahu
mereka dibuat dari satu batang kayu dan dilengkapi dengan cadik yang dinamakan
perahu semah. Perahu yang lebih baik adalah perahu yang dibuat orang-orang
ternate yang dinamakan pakatora. Perahu-perahu besar untuk berdagang di Amboina
dinamakan jungku atau orambi.
F)
AGAMA
DAN ADAT
Mayoritas
penduduk di Maluku memeluk agama Kristen dan Islam. Hal ini dikarenakan
pengaruh penjajahan Portugis dan Spanyol sebelum Belanda yang telah menyebarkan
kekristenan dan pengaruh kesultanan Ternate dan Tidore yang menyebarkan Islam
di wilayah Maluku. Jumlah pemeluk agama Islam sedikit lebih banyak, dan mereka
umumnya lebih terampil dalam bidang perdagangan dan ekonomi umumnya. Sedangkan
orang Ambon pemeluk agama Kristen lebih banyak memilih pekerjaan sebagai
pegawai negeri, guru, dan tentara.
Pemantapan
kerukunan hidup beragama dan antar umat beragama masih mengalami gangguan
khususnya selama pertikaian sosial di daerah ini. Redefinisi dalam rangka
reposisi agama sebagai landasan dan kekuatan moral, spiritual serta etika dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus mendapatkan perhatian
yang sungguh-sungguh melalui pendidikan agama agar dapat mendorong munculnya
kesadaran masyarakat bahwa perbedaan suku, agama ras dan golongan, pada
hakekatnya merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Terkait dengan itu, maka
peran para pemuka agama dan institusi-institusi keagamaan dalam mendukung
terciptanya keserasian dan keselarasan hidup berdasarkan saling menghormati
diantara sesama dan antar sesama umat beragama.
G)
UPACARA
ADAT
”Antar Sontong”
Antar
sontong yaitu para nelayan berkumpul menggunakan perahu dan lentera untuk
mengundang cummi-cumi dari dasar laut mengikuti cahaya lentera mereka menuju
pantai di mana masyarakat sudah menunggu mereka untuk menciduk mereka dari
laut.
”Pukul Manyapu”
Pukul
manyapu adalah acara adat tahunan yang dilakukan di Desa Mamala-Morela yang biasanya
dilakukan pada hari ke 7 setelah Hari Raya Idul Fitri.
H)
SISTEM
PERKAWINAN
Orang Ambon
mengenal tiga macam cara perkawinan, yaitu kawin lari, kawin minta dan kawin
masuk.
Kawin Lari
atau Lari Bini adalah sistem perkawinan yang paling lazim. Hal ini terutama
disebabkan karena orang Ambon umumnya lebih suka menempuh jarak pendek untuk
menghindari prosedur perundingan dan upacara. Kawin lari sebenarnya tidak
diinginkan dan dipandang kurang baik oleh kaum kerabat wanita namun disukai
oleh pihak pemuda. Terutama karena pemuda hendak menghindari kekecewaan mereka
bila ditolak dan menghindari malu dari keluarga pemuda karena rencana
perkawinan anaknya ditolak oleh keluarga wanita. Bisa juga karena takut
keluarga wanita menunggu sampai mereka bisa memenuhi segala persyaratan adat.
Bentuk
perkawinan ang kedua adalah Kawin Minta yang terjadi apabila seorang pemuda
telah menemukan seorang gadis yang hendak dijadikan istri, maka ia akan
memberitahukan hal itu kepada orang tuanya. Kemudian mereka mengumpulkan anggota
famili untuk membicarakan masalah itu dan membuat rencana perkawinan. Disini
diperbincangkan pula pengumpulan kekayaan untuk membayar mas kawin, perayaan
perkawinan dan sebagainya. Akan tetapi cara perkawinan semacam ini umumnya
kurang diminati terutama bagi keluarga ang kurang mampu karena membutuhkan
biaya yang besar.
Bentuk
perkawinan yang ketiga adalah Kawin Masuk atau Kawin Manua. Pada perkawinan
ini, pengantin pria tinggal dengan keluarga wanita. Ada tiga sebab utama
terjadinya perkawinan ini:
1.
Karena
kaum kerabat si pria tidak mampu membayar mas kawin secara adat.
2.
Karena
keluarga si gadis hanya memiliki anak tunggal dan tidak punya anak laki-laki
sehingga si gadis harus memasukkan suaminya ke dalam klen ayahnya untuk
menjamin kelangsungan klen.
3.
Karena
ayah si pemuda tidak bersedia menerima menantu perempuannya yang disebabkan
karena perbedaan status atau karena alasan lainnya.
Orang-orang
yang beragama Islam pada umumnya menikah sesuai dengan hukum Islam. Namun
disini juga terjadi hal yang sama, yaitu apabila sang suami belum mampu
membayar mas kawin menurut adat maka wanita itu tidak perlu ikut bersama
suaminya. Selain wajib membayar mahar (mas kawin menurut hukum Islam),
pengantin laki-laki juga harus membayar harta adat yang berupa sisir mas, gong
dan madanolam. Secara umum, poligini diijinkan, kecuali bagi mereka yang
beragama Nasrani.
Sumber :
https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=345341478943586&id=337375519740182
Tidak ada komentar:
Posting Komentar